Suka Duka Seminaris
Ya... Singkatnya itu seminaris ialah seorang remaja laki-laki yang sedang menjalani pendidikan di seminari (yang katanya) sekolah para calon imam atau pastur. Saat ini gua menjadi salah seorang seminaris di salah satu seminari di tanah Jawa #wedehh #sangar #bangga.
Lalu apa tujuan gua nulis di sini?, ya gua nulis disini tuh bermaksud untuk membagikan suka duka gua menjadi seorang seminaris.
Sukanya yang pertama adalah bangga. Bangga .., itulah yang gua rasain selama menjadi seminaris. Bangga kenapa? Bangga karena gua meerasa diperhatikan dan merasa dibesar-besarkan oleh umat. Gak jarang umat yang bayarin ongkos naik angkot seminaris saat berada di angkot yang sama. Gak jarang juga seminaris mendapat potongan harga saat jajan makanan oleh penjualnya. Selain itu, karena biasa bersosialisasi bareng umat, maka gak jarang juga umat-umat khususnya yang cewek di paroki yang merhatiin seminaris. Tapi kayaknya hal itu gak berlaku buat gua.
Lalu suka yang kedua ialah pengetahuan bisa bertambah. Selama di seminari, gua ngerasa diri gua menjadi pinter. Bukan karena sekolahnya yang 4 tahun, tapi habitus belajar yang ditanamkan di seminari ini. Waktu pertama-tama masuk gua ngerasa takut, karena di seminari tempat gua mengenyam ini gak boleh mencontek, sekali ketahuan mencontek bakal langsung dikeluarin, padahal waktu sebelum masuk seminari, gua sering banget nyontek. Tapi pas gua mencoba beradaptasi, akhirnya gua sadar bahwa gua bisa dapat nilai bagus hasil dari jerih payah gua sendiri tanpa nyontek, dan itu merupakan kebanggaan tersendiri buat gua.
Lalu suka yang ketiga itu ialah timbulnya perkembangan diri dalam diri gua. Menjadi seminaris itu bagi gua enak, karena gua bisa mengembangkan diri gua sesuai apa yang gua pengen. Dalam bidang olahraga, gua merasa berkembang dalam hal badminton, pingpong, basket, dan silat. Dulu gua gak bisa semua olahraga itu, tapi semenjak di seminari tiba-tiba muncul keinginan gua buat bisa olahraga itu, akhirnya gua coba belajar dari temen dan akhirnya gua bisa walaupun gak jago. Selain itu gua juga mulai bisa main alat musik yaitu violin. Awalnya gua juga gak bisa, tapi gua berusaha sempet-sempetin latihan terus di waktu luang dan akhirnya gua bisa mainin tuh alat musik walaupun gak sampe jago banget kayak Ayako Ishikawa. Jerih payah gua itu akhirnya membuat gua masuk ke orkesnya seminari yaitu Canisii Seminarium Symphony Orchestra (CSSO), dan itupun menjadi kebanggaan tersendiri buat diri gua. Selain berkembang dalam alat musik gua juga merasa berkembang dalam hal jurnalistik dan gambar menggambar. Itu semua baru gua rasakan di seminari, dan karena gua punya rasa pengen bisa, akhirnya gua coba tekunin tuh semua demi gua supaya bisa berkembang. Sebenarnya ada banyak lagi yang berkembang dalam diri gua, salah satunya bicara di depan umum dan main rubik. Dahh ahh, kebanyakan.., capek nulis.
Begitulah suka yang gua rasakan. Mungkin ada banyak lagi tapi gua nulisnya segitu ajah.
Sekarang duka nya.
Sebenarnya gak dikit duka yang gua rasain selama di seminari, tapi gua nulisnya gak banyak-banyak supaya gak capek jarinya.
Yang pertama gua pengen ungkapin ialah rasa kangen. Kenapa rasa kangen menjadi duka gua?, karena entah kenapa gua sering banget ngerasa kangen di seminari dan itu membuat gua ngerasa sedih. Ada banyak rasa kangen yang gua rasakan, entah itu kangen rumah, keluarga, makanan di rumah, bed yang empuk, dan banyak lagi. Gak jarang juga rasa kangen itu muncul, tapi kalau rasa kangen itu muncul biasanya gua cukup berbagi dengan temen-temen gua disini dengan cara mencurhatkan rasa kangen gua itu sampai-sampai rasa kangen itu mulai hilang.
Lalu yang kedua yang bagi gua itu susah ialah adaptasi. Beradaptasi dengan lingkungan yang baru emang sulit, apalagi orang kayak gua yang emang agak sulit ketika harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Gua harus bangun jam 4.45 terus harus nyapu ato ngepel, siapa juga yang mau kayak gitu. Gua juga harus merasakan tinggi (kutu busuk) yang menggigit kaki gua sampai-sampai kaki gua tuh luka semua, bahkan gua sendiri ampe jijik ngeliat kaki gua sendiri. Tapi itu dulu, sekarang mah udah sembuh, walau masih ada bekasnya.
Adaptasi yang gua alami gak cuma itu, salah satunya ialah gua harus belajar bahasa daerah di tempat gua belajar ini. Awalnya gua rada bingung soalnya di seminari, temen-temen gua pada ngomong pake kata "aku kamu" ke satu sama lain, sebagai anak ganteng dari Bekasi yang sedang merantau ke tanah Jawa Tengah, kata "aku kamu" yang ada dipikiran gua ialah kata yang biasa dipake oleh orang-orang yang lagi pacaran, makanya gua agak takut make kata aku kamu dan malah cenderung pake kata gua elu. Akhirnya gua sadar bahwa di Jawa Tengah bahasanya emang alus" begitu juga dengan orangnya, makanya gua akhirnya menyesuaikan cara ngomong dengan cara orang Jawa ngomong. Akhirnya gua pun kalau ngobrol sama temen-temen gua yang orang jawa pake kata aku kamu, dan gua pun mulai ngerasa terbiasa dengan hal itu. Dalam belajar bahasa Jawa, biasanya gua denger temen-temen gua pada ngomong, tapi kadang temen-temen gua sering ngajarin ke gua bahasa yang gak bener juga -_-" if u know what I mean..
Intinya, karena gua gak biasa sama komunitas yang baru seperti di seminari, kadang gua sering banget ngerasa sedih dan males, apalagi rutinitasnya yang cenderung gitu-gitu ajah. Tapi gua sadar bahwa gua harus kelua dari zona nyaman dan berusaha untuk mau dibentuk dalam sebuah formatio di seminari ini. Terbentur-bentur terbentuk.
Sebenarnya banyak lagi rasa duka yang gua alami, tapi yaaa gua jalani ajah, dan akhirnya itu malah membentuk gua menjadi pribadi yang baru.
Gua akhirnya menyadari bahwa setiap orang punya salib yang harus dipikul, dan salib itu akan membuat orang itu menjadi pribadi yang baru yang tentunya lebih baik dari sebelumnya. Yang dibutuhkan ialah keberanian dan tanggung jawab. Sebagai orang yang beriman akan Kristus dan ingin meneladani-Nya, maka gua harus siap ikut memikul salib yang emang seharusnya gua pikul. Sebagai formandi di seminari, maka gua berusaha mengambil salib itu dan memikulnya dalam kehidupan sehari-hari gua, memang sih gak dikit hal yang buat gua menyeleweng dari apa yang seharusnya dilakukan, dan gak dikit juga godaan yang membuat gua untuk ninggalin salib yang gua pikul, tapi ketika gua pengen jatuh, gua selalu berusaha kembali ke tujuan gua atau bahkan tujuan manusia diciptakan yakni memuji, menghormati, dan memuliakan Tuhan. AMDG.
Komentar
Posting Komentar